Yang terakhir
Denyut napasku tersendat galau
Letih menghela langkah mengarungi hari hari
Kemudian aku merasa ragu dan bimbang
Harus mengatakan apa pada dedaunan, pada rindu ini yang terbengkalai
Bahwa: aku nyaris kalah & ketakutan.
Perjalanan ini tidaklah panjang
Dan aku tak punya cukup waktu menuntaskan perjuangan ini
Maka, akulah petualang itu, petualang yang gagal dan menangis pasrah memandang harga diri & kehormatan yang terampas
Yang hilang dan mengambang dilangit hampa.
Dengan napas yang kian tersengal
Yang gagap dan gemetar melewati hari hari
Sebab, galau tlah mengurungku disini, di kamar ini.
Kemudian semua menjadi kosong.
Meski akulah pejalan yang setia
Yang menatap bintang sebagai mimpi mimpi
Sebagai peta petualangan yang kadang sia sia
Hingga sampai juga akhir dimana aku merasa putus asa, lelah dan kian ketakutan, takut pada sepi yang menghadangku kini
Dan, terima kasih tuhan...
Karena, aku masih memiliki sisa sisa keberanian sekedar untuk menceritakan kisah ini...
***Rumah tahanan polres bungo***
Catatan:
Ku tulis puisi ini pada bulan ketiga aku dalam tahanan polisi akibat fitnah dalam sebuah peristiwa pembunuhan yang terjadi di Desa Sungai Buluh.
Aku adalah nisbi, setitik pasir di lautan luas sang waktu, atau setetes embun yang beku di gelap malam yang gulita. Aku adalah pemimpi, yang terlelap dalam ilusi semu yang naif, yang mengurungku dalam pertanyaan-pertanyaan menipu yang dramatis dan lugu. Aku adalah petualang yang menempuh perjalanan panjang tanpa henti, yang sepi dan tersendiri. Sesungguhnya aku bukanlah aku, melainkan sang pencari yang tabah, yang sabar dan terlelap dalam rindu. (Gubuk Perenungan, 05 Februari 2000)