Translate

Jumat, 28 November 2014

Nyanyian Jiwa

Asmara hilang
Rindu dendam
Luka...
Lara...
Nestapa...
Irama hidup yang sepi tumbuh, hilang, dan berganti...

Nyinyir...
Merana...
Berdarah...
Semedi di usik mimpi masa silam
Dalam damai yang menyiksa, sengsara....

***** Sungai Rengas *****

06 September 1996

Kembali Ke Tiada

Waktu aku bangkit,
melihat dan menatap hari yang dingin
Aku tak tahu...
Apakah hari ini akan menjadi milikku?
Atau seperti biasa, berlalu begitu saja...

Akan kemanakah aku hari ini...?
Dan, hari yang kosong memantapkan kecemasanku
Ibarat kereta kereta pedati yang bingung, hanyut dalam keterasingan yang riuh rendah
Kemudian alpa dan tak kemana mana...

Ah...
Hidup ini membosankan
Setiap hari di paksa menelan aturan dan hukum hukum yang dibuat untuk menghukum diri sendiri...

Hidup ini hampa
Dan aku tergeletak tak berdaya
Memandang gejolak yang seperti musik musik orkestra, dengan menyanyikan lagu lagu cinta yang gagal, yang alpa dan lalai...

Barangkali benar
Bahwa aku harus kembali ke tiada
Menikmati angan angan, meski pun sepi, tapi setidak tidaknya dalam tiada aku bisa menjadi diri sendiri...

Waktu aku bangkit
Ada dari sebuah ketiadaan yang hakiki
Maka, aku adalah kebimbangan yang belajar untuk mengatakan "ya atau tidak"
Dan kemudian mencoba menangkap maknanya
Makna yang terkandung di balik detik yang menapak...

Dalam ada aku merasa hampa
Dalam hampa aku tak merasakan apa apa
Barangkali benar; bahwa aku harus kembali ke tiada
Lenyap...
Kembali tiada dalam ketiadaan yang hakiki...

Muara Bungo

07 Juni 1996 

Rabu, 26 November 2014

Beberapa Tahun Yang Lalu


Saudara-saudaraku...
Beribu-ribu teriak kesakitan pernah ku kumandangkan pagi ini di beberapa tahun yang lalu.
Beribu gelora yang meneriakkan kesakitan, keperihan, kemarahan, dan kebingungan.
“Kenapa harus aku...?

Saudara-saudaraku...
Pagi ini di beberapa tahun yang lalu, saat ku rasakan luka dalam kungkungan dan deraan siksa penjara. Pahit, pedih dan perih...
"Apa salahku...?"

Catatan:
Puisi ini ku tulis pada tanggal 01 Februari 2012 untuk mengenang fitnah yang mengantarkan aku ke penjara beberapa tahun sebelumnya (01/02/2002).
Fitnah yang mengantarkanku kepada siksaan fisik dan batin yang luarbiasa.
Fitnah yang membuatku kehilangan sebagian hari-hariku.
Fitnah yang membuat harga diri dan hak azaziku terampas.
Meski akhirnya dibebaskan karena ketiadaan bukti, tapi rasa sakitnya masih terasa hingga kini.


Sebatas Mimpi


Sebait kata dalam diam
Membentuk senandung senandung darah jiwa, mengucurkan perih dalam seribu abstrak asa
Sepi malam...
Di ujung lidah menyapu rasa asin dan pahit
Kehidupan membakar nadi atau detak masa, mengantar cita pada ruang hampa
Kemudian diam...

Karena hidup adalah mimpi mimpi
Yang mengguyur abad dalam semu yang dramatis
Maka pandanglah ia dari lepas cakrawala
Tatap dan resapi senandungnya yang lirih Yang mengalun bagai ombak laut menghempas pantai...

Dari langit jauh, kesunyian mengalun pelan
Sukma meregang, nasib tak mengubah apa pun 
 Tidak juga kehidupan, kecuali secuil kenangan
Dan itu pun tak lebih dari mimpi yang akan melahirkan mimpi mimpi berikutnya...
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar’Ra’d: 11)

Gubuk Perenungan, 09 Desember 1997