Syair ini kutulis suatu ketika, saat matahari terbenam dan rembulan baru mulai menampakkan wujudnya dari balik awan tipis senja itu
Syair ini kutulis, kala aku tengah sendiri menikmati temaram awal malam yang diselimuti kesunyian, kala embun mulai menjilati dedaunan.
Kutulis syair ini untuk menceritakan kisah yang tak bisa ku ucapkan lewat kata-kata, entah karena aku tak sempat, atau karena aku terlalu takut untuk menceritakannya.
Ah!!!, entahlah, yang jelas aku tak bisa....
Aku tak tau, ini luka atau apa...?
Masa silam telah menggoreskan sedikit catatan yang membawa pedih secara perlahan.
Ingin kuteriakkan, tapi aku tak bisa, rasa sakit telah menutup mulutku hingga aku tak berdaya.
Kutulis syair ini disuatu waktu, disuatu tempat yang teramat sepi dan jauh, disuatu tempat dimana aku tak perlu merasakan takut lagi.
Sobat....
Syair ini kukirimkan kepadamu, agar jika disuatu saat nanti ada orang yang mencariku, maka engkau bisa menjelaskan kepadanya bahwa; Aku tak akan pernah kembali...
Aku adalah nisbi, setitik pasir di lautan luas sang waktu, atau setetes embun yang beku di gelap malam yang gulita. Aku adalah pemimpi, yang terlelap dalam ilusi semu yang naif, yang mengurungku dalam pertanyaan-pertanyaan menipu yang dramatis dan lugu. Aku adalah petualang yang menempuh perjalanan panjang tanpa henti, yang sepi dan tersendiri. Sesungguhnya aku bukanlah aku, melainkan sang pencari yang tabah, yang sabar dan terlelap dalam rindu. (Gubuk Perenungan, 05 Februari 2000)