Episode-III
" DIALOG "
" Aku letih, peperangan batin yang tak kenal henti hanya mengantarkanku pada kekalahan demi kekalahan yang menyakitkan.
Kau tahu, nasibku tidaklah beruntung..." lirihku pada kabut suatu pagi saat embun masih memijarkan cahaya mentari dan membisikkan semilir merdu kepada angin.
" Hidup adalah ladang misteri, penuh cobaan, kau pun tahu itu..." jawabnya.
" Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiya: 35).
Camkanlah ayat tersebut olehmu saudaraku, tidaklah sepatutnya engkau mengeluh..." sambungnya kemudian.
Aku menunduk, menekuri tanah, mengais makna darinya.
" Tapi mereka tak pernah pedulikan aku, mereka tak mau mengerti..." jawabku antara lelah dan putus asa.
" Kau picik..." ia berteriak marah.
"Kau tak berhak menyalahkan mereka, bukankah kau sendiri yang menutup diri...? menjadikan sunyi sebagai tempat pelarianmu..." katanya lagi.
" Dan ini tak mengubah apapun kan...!? Aku terlalu jauh tertinggal..." rintihku pelan.
"Jangan naif..." balasnya, kali ini suaranya kembali lembut.
"Ini masih terlalu pagi untuk dikatakan terlambat..." sambungnya beberapa saat kemudian.
Dipuncak bukit kulihat kabut kian menipis, matahari meninggalkan jejak panas berdebu.
"Semoga..." teriakku.
Kemudian kabut menghilang, matahari telah di ubun-ubun.
"Kau benar..." bisikku.
" DIALOG "
" Aku letih, peperangan batin yang tak kenal henti hanya mengantarkanku pada kekalahan demi kekalahan yang menyakitkan.
Kau tahu, nasibku tidaklah beruntung..." lirihku pada kabut suatu pagi saat embun masih memijarkan cahaya mentari dan membisikkan semilir merdu kepada angin.
" Hidup adalah ladang misteri, penuh cobaan, kau pun tahu itu..." jawabnya.
" Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiya: 35).
Camkanlah ayat tersebut olehmu saudaraku, tidaklah sepatutnya engkau mengeluh..." sambungnya kemudian.
Aku menunduk, menekuri tanah, mengais makna darinya.
" Tapi mereka tak pernah pedulikan aku, mereka tak mau mengerti..." jawabku antara lelah dan putus asa.
" Kau picik..." ia berteriak marah.
"Kau tak berhak menyalahkan mereka, bukankah kau sendiri yang menutup diri...? menjadikan sunyi sebagai tempat pelarianmu..." katanya lagi.
" Dan ini tak mengubah apapun kan...!? Aku terlalu jauh tertinggal..." rintihku pelan.
"Jangan naif..." balasnya, kali ini suaranya kembali lembut.
"Ini masih terlalu pagi untuk dikatakan terlambat..." sambungnya beberapa saat kemudian.
Dipuncak bukit kulihat kabut kian menipis, matahari meninggalkan jejak panas berdebu.
"Semoga..." teriakku.
Kemudian kabut menghilang, matahari telah di ubun-ubun.
"Kau benar..." bisikku.